Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Anak Usia Dini
Ada
sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini
sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang
kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah :
- meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,
- penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk,
- pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan,
- meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan
narkoba, alkohol dan seks bebas.
- semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,
- menurunnya etos kerja,
- semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan
guru,
- rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga
negara,
- membudayanya ketidakjujuran, dan
- adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara
sesama.
Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman
tersebut sudah ada di Indonesia. Selain sepuluh tanda-tanda jaman tersebut,
masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem
pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan
otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif,
empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan
optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan
karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih
menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).
Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan
karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder
(binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus
agar menjadi kokoh dan kuat.
Pendidikan karakter ini hendaknya dilakukan sejak usia
dini, karena usia dini merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang keberhasilannya sangat menentukan
kualitas anak di masa dewasanya. Montessori menyebutnya dengan periode kepekaan
(sensitive period). Penggunaan istilah ini bukan tanpa
alasan, mengingat pada masa ini, seluruh aspek perkembangan pada anak usia
dini, memang memasuki tahap atau periode yang sangat peka. Artinya, jika tahap
ini mampu dioptimalkan dengan memberikan berbagai stimulasi yang produktif,
maka perkembangan anak di masa dewasa, juga akan berlangsung secara produktif.
Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang
baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya
kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik
kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan
sosial di masa dewasanya kelak (Erikson, 1968).
1.Peran keluarga dalam Pembentukan karakter Anak
Keluarga dalam hal ini adalah aktor yang sangat
menentukan terhadapmasa depan perkembangan anak. Dari pihak keluarga
perkembangan pendidikan sudah dimulai semenjak masih dalam kandungan. Anak
yangbelum lahir sebenarnya sudah bisa menangkap dan merespons apa-apa
yangdikerjakan oleh orang tuanya, terutama kaum ibu.
Menurut Megawangi (2004), anak-anak akan tumbuh
menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang
berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang
segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang
sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas
bisnis, dan sebagainya - turut andil dalam perkembangan karakter anak.
Dengan
kata lain, mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah
tanggung jawab semua pihak. Tentu saja hal ini tidak mudah, oleh karena itu
diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan karakter merupakan ”PR”
yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih melihat kondisi karakter
bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan bahwa manusia tidak secara
alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik, sebab menurut
Aristoteles (dalam Megawangi, 2004), hal itu merupakan hasil dari usaha seumur
hidup individu dan masyarakat.
2.Keluarga sebagai Tempat Pertama Pendidikan Karakter
Anak
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama
dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum
PBB (dalam Megawangi, 2004), fungsi utama keluarga adalah”sebagai wahana untuk
mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga,
sejahtera”.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam
Megawangi, 2004), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk
menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila
keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi
yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi
institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga
merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila
keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit
bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk
memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat
pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap
keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada
pendidikan karakter anak di rumah. (Latifah;2011)
3.Pola Asuh dalam Pendidikan Karakter Anak di Keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai
kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang
diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola
interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik
(seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa
aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku
di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya (Latifah;2011).
Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak
dalam rangka pendidikan karakter anak. Jadi gaya yang diprankan orang tua dalam
mengembangkan karakter anak sangat penting, apakah ia otoriter, demokratis atau
permisif.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang
diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan
karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan
dalam pembentukan karakter yang baik.
4.Nilai Karakter yang Penting Harus Ditanamkan dalam
Keluarga
Ruang lingkup nilai karakter yang semestinya
dikembangkan di lingkungan keluarga menurut Ratna Megawangi adalah sebagai
berikut :
- Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya
- Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian
- Kejujuran
- Hormat dan Santun
- Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama
- Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras
- Kepemimpinan dan Keadilan
- Baik dan Rendah Hati
- Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan
- 4K ( kebersihan, kesehatan, kerapian dan keamanan)
Sedangkan menurut sumber dari Balitbang, Kementerian
Pendidikan Nasional, bahwa ruang lingkup nilai moral dalam rangka pembentukan
karakter yang harus dikembangkan di lingkungan keluarga adalah sebagai berikut:
Religius: Sikap
dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agamadianutnya, toleran
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama
lain.
Jujur: Perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orangselalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Toleransi: Sikap
dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
Disiplin: Tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
Kerja Keras: Perilaku
yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Kreatif: Berpikir
dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang
telah dimiliki.
Mandiri: Sikap
dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
Demokratis: Cara
berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama Hak dan kewajiban dirinya
dan orang lain.
Rasa Ingin Tahu: Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas
dari sesuatuyang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Semangat Kebangsaan: Cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Cinta Tanah Air: Cara
berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkankesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
Menghargai Prestasi: Sikap
dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
Bersahabat/Komuniktif: Tindakan
yang memperlihatkan rasa senang berbicara,bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain.
Cinta Damai: Sikap,
perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas
kehadiran dirinya.
Gemar Membaca: Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi
dirinya.
Peduli Lingkungan: Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi.
Peduli Sosial: Sikap
dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat
yang membutuhkan.
Tanggung-jawab: Sikap
dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. (Balitbang Kemendiknas,
2010: 8)